Rabu, 15 Maret 2017

Makalah al-Hadits tentang Hadits Shahih


Makalah Individu



MAKALAH
HADITS SHAHIH
Disampaikan Untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah
al- Hadits



Disusun oleh :

Nama                    :         Linda Amalia Saragih (0310162023)
                             
Semester               :         I (Satu)






JURUSAN PENDIDIKAN BIOLOGI
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA MEDAN
2016





KATA PENGANTAR
            Alhamdulillah. Puji syukur ke hadirat Allah SWT atas diberikan-Nya petunjuk,  kekuatan, rahmat dan hidayah-Nya kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah Ilmu Teknik Laboratorium ini. Adapun dalam penulisan makalah ini, materi yang akan dibahas adalah “Keselamatan Kerja di Dalam Laboratorium” sebagai alat pembelajaran bagi para pembaca agar lebih mendalami prosedur keselamatan kerja di dalam laboratorium.    
            Tidak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penyusunan makalah ini, khususnya kepada dosen pembimbing dan keluarga serta teman-teman yang kami sayangi.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa di dalam penulisan makalah ini banyak terdapat kekurangan. Oleh karena itu, kami mengharapkan adanya kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan penulisan makalah ini.
Akhir kata, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan dapat menambah wawasan kita dalam mempelajari pengertian pemerintahan, tanggung jawab dan wewenang pemerintah serta dapat digunakan sebagaimana mestinya dan bermanfaat untuk kita semua.

Medan, 14 Oktober 2016



                                                                                                Penulis







 
DAFTAR    ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C.Tujuan

BAB II PEMBAHASAN
A. Defenisi Hadits Shahih
B. Syarat-syarat Hadits Shahih
C. Pembagian Hadits Shaih
D. Hukum dan Ke-hujjah-an Hadits Shahih

BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
C. Daftar Pustaka





  



BAB 1
PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang
Hadits atau Sunnah adalah sumber ajaran Islam yang kedua setelah Al-Qur’an.  Dimana keduanya merupakan pedoman dan pengontrol segala tingkah laku dan perbuatan manusia.  Untuk Alqur’an semua periwayatan ayat-ayatnya mempunyai kedudukan sebagai suatu yang mutlak kebenaran beritanya sedangkan hadis Nabi belum dapat dipertanggungjawabkan periwayatannya berasal dari Nabi atau tidak.
Sebagaimna kita ketahui bahwa tidak semua hadis Nabi SAW. dapat dijadilan sebagai sandaran. Hal ini bisa terjadi karena tidak semua hadits dapat diterima (maqbul) seperti yang telah diungkapkan oleh para ulama bahwa hadits dapat diterima karena ia shahih dan adakalanya ditolak karena ia dha’if. Namun demikian hadis memiliki peranan dalam menjelaskan setiap ayat-ayat Alqur’an yang turun baik yang bersifat Muhkamat maupun Mutasabihat. Sehingga hadis ini sangat perlu untuk dijadikan sebagai sandaran umat Islam dalam menguasai inti-inti ajaran Islam.
Dari kenyataan inilah, saya ingin mencoba melalui makalah ini untuk mencermati permasalahan hadits shahih serta yang berkaitan dengan syarat-syarat hadits shahih dan pembagiannya.

  1. Rumusan Masalah
1.      Apakah yang dimaksud dengan Hadist Shahih ?
2.      Bagaimana syarat-syarat ketentuan Hadist Shahih ?
3.      Bagaimana pembagian di dalam Hadist Shahih ?
4.      Apakah hukum dan Ke-hujjah-an Hadist Shahih ?
  1. Tujuan
1.      Mengetahui lebih dalam definisi Hadits Shahih.
2.      Mengetahui tentang syarat-syarat Hadits Shaih.
3.      Mengetahui tentang bagaimana pembagian Hadits Shahih.
4.      Mengetahui hukum dan ke-hujjah-an Hadits Shahih.


 BAB 2
PEMBAHASAN
  1. Definisi Hadits Shahih
Kata Shahih ( الصحيخ ) dalam bahasa diartikan orang sehat antonim dari kata as-saqim  ( السقيم ) yang artinya orang yang sakit jadi yang dimaksud hadits shahih adalah hadits yang sehat dan benar tidak terdapat penyakit dan cacat.
هُوَ الْمُسْنَدُ، الْمُتَّصِلُ إِسْنَادُهُ، بِنَقْلِ الْعَدْلِ الضَّابِطِ، عَنِ الْعَدْلِ الضَّابِطِ إِلَى مُنْتَهَاهُ، مِنْ غَيْرِ شُذُوْذٍ وَلاَ عِلَّةٍ
Hadits shahih adalah hadits yang musnad, bersambung sanadnya, dengan penukilan seorang yang adil dan dhabith dari orang yang adil dan dhabith sampai akhir sanad, tanpa ada keganjilan dan cacat.”
Untuk memudahkan memahami definisi tersebut, dapat dikatakan, bahwa hadits shahih adalah hadits yang mengandung syarat-syarat berikut;
  1. Haditsnya musnad
  2. Sanadnya bersambung
  3. Para rawi (periwayat)nya adil dan dhabith
  4. Tidak ada syadz (keganjilan)
  5. Tidak ada illat (cacat)
Ibnu al-Shalah mendefinisikan Hadis Shahih yaitu Hadis Musnad yang bersambung sanadnya dengan periwayatan perawi yang adil dan dhabit, (yang diterimanya) dari perawi (yang lain) yang adil dan dhabith hingga ke akhir (sanad)-nya, serta Hadis tersebut tidak syadz dan tidak ber’illat.[1]
Imam As-Suyuti mendifinisikan hadits shahih dengan “hadits yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh perawi yang adil dan dhabit, tidak syadz dan tidak ber’illat”. Defisi hadits shahih secara konkrit baru muncul setelah Imam Syafi’i memberikan penjelasan tentang riwayat yang dapat dijadikan hujah, yaitu:
Pertama, apabila diriwayatkan oleh para perawi yang dapat dipercaya pengamalan agamanya, dikenal sebagai orang yang jujur memahami hadits yang diriwayatkan dengan baik, mengetahui perubahan arti hadits bila terjadi perubahan lafazhnya; mampu meriwayatkan hadits secara lafazh, terpelihara hafalannya bila meriwayatkan hadits secara lafazh, bunyi hadits yang Dia riwayatkan sama dengan hadits yang diriwayatkan orang lain dan terlepas dari tadlis (penyembuyian cacat). Kedua, rangkaian riwayatnya bersambung sampai kepada Nabi Muhammad SAW. Atau dapat juga tidak sampai kepada Nabi Muhammad SAW.
 Imam Bukhori dan Imam Muslim membuat kriteria hadits shahih sebagai berikut:
a)      Rangkaian perawi dalam sanad itu harus bersambung mulai dari perawi pertama sampai perawi terakhir.
b)      Para perowinya harus terdiri dari orang-orang yang dikenal tsiqat, dalam arti adil dan dhobith,
c)      Haditsnya terhindar dari ‘illat (cacat) dan syadz (janggal), dan
d)     Para perawi yang terdekat dalam sanad harus sejaman.
Shubhi Shalih juga memberikan rambu-rambu yang harus diperhatikan dalam melihat keshahihan sebuah hadis, yaitu:
a)      Hadis tersebut shahih musnad, yakni sanadnya bersambung sampai yang teratas.
b)      Hadis shahih bukanlah hadis yang syaz yaitu rawi yang meriwayatkan memang terpercaya , akan tetapi ia menyalahi rawi-rawi yang lain yang lebih tinggi.
c)      Hadis shahih bukan hadis yang terkena ‘illat. Illat ialah: sifat tersembunyi yang mengakibatkan hadis tersebut cacat dalam penerimaannya, kendati secara zahirnya terhindar dari illat.
d)     Seluruh tokoh sanad hadis shahih itu adil dan cermat.
  1. Syarat-Syarat Hadits Shahih.
            Dari definisi  tersebut dapat disimpulkan, bahwa suatu hadis dapat dinyatakan Shahih apabila telah memenuhi kriteria tertentu, yaitu: Syarat pada Sanad dan Syarat pada Matan .
·         Syarat Pada Sanad
Kriteria yang telah dirumuskan oleh para Ulama tentang syarat pada sanad nya adalah sebagai berikut :[2]
1.      Sanad Hadis tersebut harus bersambung
Maksudnya adalah bahwa setiap perawi menerima hadis secara langsung dari perawi yang berbeda di atasnya, dari awal sanad sampai ke akhir sanad, dan seterusnya sampai kepada Nabi Muhammad SAW sebagai sumber hadis tersebut.
Untuk membuktikan apakah antara sanad-sanad itu bersambung atau tidak, di antaranya dilihat dari usianya masing-masing dan tempat tinggal mereka. Apakah usia keduanya memungkinkan bertemu atau tidak. Selain itu, cara mereka menerima atau menyampaikannya ialah denan cara sama’(mendengar guru memberikan hadis dari perawi itu) atau munawalah (seorang guru memberikan hadis yang dicatatnya kepada muridnya). Atau dengan cara lain.[3]

2.      Seluruh periwayat dalam sanad bersifat adil
Artinya perawi hadis tersebut memiliki ketelitian dalam menerima hadis,memahami apa yang ia dengar,serta mampu mengingat dan menghafalkan sejak ia menerima hadis tersebut sampai pada masa ketika ia meriwayatkannya.
Secara umum telah mengemukakan cara penetapan keadilan periwayat hadis, yakni , berdasarkan :
a)      Popularitas keutamaan periwayat dikalangan  utama ; periwayat  yang terkenal keutamaan pribadinya, misalnya : Malik bin Anas dan Sufyan al-Tsaury tidak lagi diragukan keadilannya.
b)      Penilaian para kritikus periwayat hadis; penilaian ini berisi pengungkapan kelebiha dan kekurangan yang ada pada diri periwayat hadis.
c)      Penerapan kaedah al-jahr wa al-ta’dil,cara ini ditempuh , bila para kritikus periwayat hadis tidak sepakat tentang kualitas pribadi periwayat tertentu. Jadi penetapan keadilan periwayat diperlukan kesaksian dari ulama,dalam hal ini ulama ahli kritik periwayat.

3.      Seluruh periwayat oleh sanad bersifat Dhabit
Dhabit menurut bahasa ialah “yang kokoh,yang kuat,yang tepat,yang hapal dengan sempurna. Sedangkan menurut istilah ialah “orang yang kuat hafalannya tentang apa yang telah didengarnya dan mampu menyampaikan hafalannya itu kapan saja ia kehendaki”. Atau Dhabit adalah bahwa rawi hadits yang bersangkutan dapat menguasai hadits yang diterimanya dengan baik, baik dengan hapalannya yang kuat ataupun dengan kitabnya, kemudian ia mampu mengungkapkannya kembali ketika meriwayatkannya kembali.
Dari definisi di atas bisa dipahami bahwa seorang bisa disebut dhabit, apabila :
a.       Periwayat itu memahami dengan baik riwayat yang telah didapatnya (diterimanya).
b.      Periwayat itu hafal dengan baik riwayat yang telah didengarnya.
c.       Periwayat itu mampu menyampaikan riwayat yang telah dihafal itu dengan baik :
§  Kapan saja ia menghendakinya
§  Sampai saat dia menyampaikan riwayat itu kepada orang lain.

Adapun cara penetapan kedhabitan seseorang periwayat , dapat dinyatakan sebagai berikut :
a.       Kedhabitan periwayat dapat diketahui berdasarkan kesaksian ulama.
b.      Kedhabitan periwayat dapat diketahui juga berdasarkan kesesuaian riwayatnya dengan riwayat yang disampaikan oleh periwayat lain yang telah dikenal kedhabitan. Tingkat kesesuaiannya mungkin hanya sampai ketingkat makna atau mungkin ketingkatan harfiah.
c.       Apabila seorang periwayat sesekali mengalami kekeliruan, maka dia masih dinyatakan sebagai periwayat yang dhabit. Tetapi jika kesalahan itu sering terjadi, maka periwayat yang bersangkutan tidak lagi disebut sebagai periwayat yang dhabit.

Dari sudut kuatnya ingatan perawi, para ulama membagi kedhabitan ini menjadi dua :
  • Dhabit Shadr(dhabit Fuad)
Artinya terpelihara hadis yang diterimanya dalam hapfalan, sejak ia menerima hadis tersebut sampai meriwayatkannya kepada orang lain, kapan saja periwayatan itu diperlukan.
  • Dhabit Kitab
Artinya terpeliharanya periwayatan itu melalui tulisan-tulisan yang dimilikinya, ia memahami dengan baik tulisan hadis yang tertulis dalam kitab yang ada padanya, dijaganya dengan baik dan meriwayatkannya  kepada orang lain dengan benar.

4.      Sanad hadis itu terhindar dari syadz (syuzuz)
dalam arti bertentangan atau menyalesihi orang yang terpercaya dan lainnya. Syadz adalah suatu kondisi dimana seorang rawi berbeda dengan rawi yang lain yang lebih kuat posisinya. Kondisi ini dianggap janggal karena bila ia berada dengan rawi yang lain yang lebih kuat posisinya, baik dari segi kekuatan daya ingatnya atau hapalannya atau pun jumlah mereka lebih banyak, maka para rawi yang lain itu harus diunggulkan, dan ia sendiri disebut syadz atau janggal. Dan karena kejanggalannya maka timbulah penilaian negatif terhadap periwayatan hadits yang bersangkutan.[4]
Sebenarnya kejanggalan suatu hadits itu akan hilang dengan terpenuhi syarat-syarat sebelumnya, karena para muhaditsin menganggap bahwa ke-dhabit-an telah mencakup potensi kemampuan rawi yang berkaitan dengan jumlah hadits yang dikuasainya. Boleh jadi terdapat kekurangpastian dalam salah satu haditsnya, tanpa harus kehilangan predikat ke-dhabit-annya sehubungan dengan hadits-hadits yang lain. Kekurangpastian tersebut hanya mengurangi keshahihan hadits yang dicurigai saja.

5.      Sanad hadits itu terhindar dari ‘illat (cacat)
Kata ‘illat yang terbentuk jama’nya ‘illa atau al-‘illai, menurut bahasa berarti cacat, penyakit, keburukan dan kesalahan baca. Dengan pengerian ini, maka yang disebur hadis ber’illat adalah hadis-hadis yang ada cacat atau penyakitnya.
Maksudnya ialah bahwa hadits yang bersangkutan terbebas dari cacat haditsnya. Yakni hadits itu terbebas dari sifat-sifat samar yang membuatnya, meskipun tampak bahwa hadits itu tidak menunjukan adanya cacat-cacat tersebut. Jadi hadits yang mengandung cacat itu bukan hadits yang shahih.

·         Syarat Pada Matan
Kemudian perlu kita ketahui, bahwa hadis itu tidak dipandang shahih dengan karena sanadnya telah shahih, jika matannya nyatanya berlawanan dengan keterangan-keterangan yang lebih kuat dari padanya. Tidak cukup untuk menshahihkan sesuatu hadis, melihat dari sanadnya saja.
Menurut Muhadditsin tampak beragam. Salah satu versi tentang kriteria keshahihan matan hadits ialah bahwa suatu matan hadits dapat dinyatakan maqbul (diterima) sebagai matan hadits yang shahih apabila memenuhi unsur-unsur sebagai berikut :
§    tidak bertentangan dengan akal sehat
§    tidak bertentangan dengan hukum Al-Qur’an yang telah muhkam (ketentuan hokum yang telah tetap)
§    tidak bertentangan dengan hadits mutawatir
§    tidak bertentangan dengan amalan yang telah menjadi kesepakatan ulama masa lalu (Ulama Salaf)
§    tidak bertentangan dengan dalil yang telah pasti
§    tidak bertentangan dengan hadits ahad yang kualitas keshahihannya lebih kuat.
  1. Pembagian Hadits Shahih.
Para ulama membagi hadis Shahih kepada dua, yaitu Shahih Lidzatihi, dan Shahih Lighairihi.
  1. Shahih Lidzatihi
Shahih li Dzatihi, yaitu hadis yang mencakup semua syarat-syarat atau sifat-sifat hadis maqbul secara sempurna, dinamakan “shahih li Dzatihi” karena telah memenuhi  semua syarat shahih,dan tidak butuh dengan riwayat yang lain untuk sampai pada puncak keshahihan, keshahihannya telah tercapai dengan sendirinya.
Hadits yang diriwayatkan oleh Al Bukhari di dalam kitab Shahih-nya jilid 4 halaman18, Kitab Al  Jihad wa As Siyar, Bab Ma Ya’udzu min Al Jubni;
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ، حَدَّثَنَا مُعْتَمِرٌ، قَالَ: سَمِعْتُ أَبِي قَالَ:سَمِعْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ رَضِي اللَّه عَنْهم، قَالَ: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْعَجْزِ، وَالْكَسَلِ، وَالْجُبْنِ، وَالْهَرَمِ، وَأَعُوذُ بِكَ  مِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ
Telah menceritakan kepada kami Musaddad, telah menceritakan kepada kami Mu’tamir, ia berkata; Aku mendengar ayahku berkata; Aku mendengar Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berdo’a; “Ya Allah, aku memohon kepada-Mu perlindungan dari kelemahan, kemalasan, sifat pengecut dan dari kepikunan, dan aku memohon kepada-Mu perlindungan dari fitnah (ujian) di masa hidup dan mati, dan memohon kepada-Mu perlindungan dari adzab di neraka.”


Hadits tersebut telah memenuhi persyaratan sebagai hadits shahih, karena;
  1. Ada sanadnya hingga kepada Rasulullah saw.
  2. Ada persambungan sanad dari awal sanad hingga akhirnya. Anas bin Malik adalah seorang shahabat, telah mendengarkan hadits dari nabi saw. Sulaiman bin Tharkhan (ayah Mu’tamir), telah menya-takan menerima hadits dengan cara mendengar dari Anas. Mu’tamir, menyatakan menerima hadits dengan mendengar dari ayahnya. Demikian juga guru Al Bukhari yang bernama Musaddad, ia menyatakan telah mende-ngar dari Mu’tamir, dan Bukhari -rahimahullah- juga menyatakan telah mendengar hadits ini dari gurunya.
  3. Terpenuhi keadilan dan kedhabitan dalam para periwayat di dalam sanad, mulai dari shahabat, yaitu Anas bin Malik ra hingga kepada orang yang mengeluarkan hadits, yatu Imam Bukhari
    1. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau termasuk salah seorang shahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan semua shahabat dinilai adil.
    2. Sulaiman bin Tharkhan (ayah Mu’tamir), dia siqah abid (terpercaya lagi ahli ibadah).
    3. Mu’tamir, dia siqah
    4. Musaddad bin Masruhad, dia siqah hafid.
    5. Al Bukhari –penulis kitab as-Shahih-, namanya adalah Muhammad bin Isma’il Al Bukhari, dia dinilai sebagai jabal Al hifdzi (gunungnya hafalan), dan amirul mu’minin fil hadits.
  4. Hadits ini tidak syadz (bertentangan dengan riwayat lain yang lebih kuat)
  5. Hadits ini tidak ada illat-nya.
  1. Shahih Lighairihi
Merupakan hadits shahih yang tidak memenuhi syarat-syarat secara maksimal. Misalnya, rawinya adil yang tidak sempurna dhabitnya. Bila jenis ini dikukuhkan oleh jalur lain, hadits tersebut menjadi hadits lighairih. Dengan demikian shahih lighairih adalah hadits yang keshahihannya disebabkan oleh faktor lain karena tidak memenuhi syarat secara maksimal. Misalnya hadits hasan yang diriwayatkan melalui beberapa jalur, bisa naik derajatnya dari hadits hasan menjadi derajat hadits shahih. Kedudukan hadist shaih lighairihi lebih tinggi di atas hadits Hasan Lidzatihi namun di bawah hadits Shahih Lidzatihi.


Contoh Hadits lighairihi adalah :
Ini didasari riwayat hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, Beliau bersabda:
لَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي لأمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عند كلِّ صلاة
“Seandainya tidak memberatkan umatku, sungguh aku akan perintahkan mereka untuk bersiwak setiap akan shalat.” (HR. Bukhari, Muslim dan Tirmidzi)
Hadis tersebut dinilai oleh muhaddisin sebagai hadis shahih li ghairihi sebagaimana dijelaskan diatas. Pada sanad hadis tersebut, terdapat Muhammad bin ‘Amr yang dikenal orang jujur, akan tetapi kedhabitannya kurang sempurna, sehingga hadis riwayatnya hanya sampai ke tingkat hasan. Namun keshahihan hadis tersebut didukung oleh adanya hadis lain, yang lebih tinggi derajatnya sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari A’raj dari Abu Hurairah
Dari sini dapat kita ketahui bahwa martabat hadis shahih ini tergantung kepada ke-dhabit-an dan ke-adil-an para perawinya. Semakin dhabit dan semakin adil si perawi, makin tinggi pula tingkatan kualitas hadis yang diriwayatkannya.yang diistilah oleh para muhaddisin sebagai ashahhul asanid.
  1. Hukum dan Ke-hujjah-an Hadits Shahih.
            Para Ulama Hadis, demikian juga para Ulama Ushul Fiqih dan Fuqhha, sepakat menyatakan bahwa hukum Hadits Shahih adalah wajib untuk menerima dan mengamalkannya. Kesepakatan ini terjadi dalam soal-soal yang berkaitan dengan penetapan halal atau haramnya sesuatu, tidak dalam hal-hal yang berhubungan dengan aqidah. Sebagian besar ulama menetapkan dengan dalil-dalil qat’i, yaitu al-Quran dan hadis mutawatir. oleh karena itu, hadis ahad tidak dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan persoalan-persoalan yang berhubungan dengan aqidah.

Mengenai kehujjahan hadis shahih, dikalangan ulama tidak ada perbedaan tentang kekuatan hukumnya, terutama dalam menentukan halal dan haram (status hukum) sesuatu. Hal ini didasarkan pada firman Allah, (Q.S al-Hasyr : 59) :
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah; dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya." – (QS.Al-Hasyr,59:7)
                Hadis Shahih adalah Hujjah dan dalil dalam penerapan hukum Syara’, oleh karenanya tidak ada alasan bagi setiap Muslim untuk meninggalkannya.[5]


BAB 3
PENUTUP
A.                Kesimpulan.
Hadits Shahih adalah hadits yang berhubungan (bersambung) sanadnya yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, dhabit, yang diterimanya dari perawi yang sama (kualitasnya) dengannya sampai kepada akhir sanad, tidak syadz dan tidak pula ber ‘illat. Hadis Shahih adalah Hujjah dan dalil dalam penerapan hukum Syara’, oleh karenanya tidak ada alasan bagi setiap Muslim untuk meninggalkannya. Dapat kita ketahui bahwa martabat hadis shahih ini tergantung kepada ke-dhabit-an dan ke-adil-an para perawinya. Semakin dhabit dan semakin adil si perawi, makin tinggi pula tingkatan kualitas hadis yang diriwayatkannya.yang diistilah oleh para muhaddisin sebagai ashahhul asanid. Persyaratan Hadits Shahih, yaitu: Diriwayatkan oleh para perawi yang Adil, Ke-dhabit-an pe-rawi-nya, antara Sanad- sanadnya harus Muttashil, Tidak ada cacat atau illat, Tidak janggal atau Syadzdz.Hadits Shahih terbagi dua yaitu: Shahih Lidzatihi dan Shahih Lighairihi. Shahih lidztihi adalah Haidits yang Shahih dengan sendinya, karena telah memenuhi, persyaratan hadits Shahih. Shahih ligharihi adalah Hadits Hasan lidzatihi ketika ada periwayatan melalui jalan lain yang sama atau yang lebih kuat dari padanya.
B.                 Saran.
Setelah dipaparkan dengan cukup jelas tentang pokok bahasan yang berkaitan dengan hadis Shahih dan bagian-bagiannya, dalam hal ini saya menyarankan  pada kita semua agar kita selaku umat muslim harus menerapkan apa yang sudah diriwayatkan Nabi SAW. Hadits Shahih adalah hujjah sehingga kita selaku umat muslim tidak bolek mengabaikan dan meninggalkannya.
Demikianlah makalah yang dapat saya buat, sebagai manusia biasa saya menyadari dalam pembuatan makalah ini masih terdapat banyak kesalahan dan kekurangan. Untuk itu kritik dan saran yang bersifat konstruktif sangat saya harapkan demi kesempurnaan makalah ini dan berikutnya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Amin.




[1] Ibnu Al-Shalah, “Ulumul al-Hadits, h.10
[2] Nawir Yuslem, Ulumul Hadits, hal: 66
[3] Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadits, h.305
[4] Endang Soetari.,Ilmu Hadits ; Kajian Diriwayah dan Diriyah,h.140
[5] NawirYuslem, Ulumul Hadits, h,.227,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar