Makalah Individu
MAKALAH
HADITS SHAHIH
Disampaikan
Untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah al- Hadits
Mata Kuliah al- Hadits
Disusun oleh :
Nama :
Linda Amalia Saragih (0310162023)
Semester : I
(Satu)
JURUSAN
PENDIDIKAN BIOLOGI
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA MEDAN
2016
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA MEDAN
2016
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah.
Puji syukur ke hadirat Allah SWT atas diberikan-Nya
petunjuk, kekuatan, rahmat dan
hidayah-Nya kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah
Ilmu Teknik Laboratorium ini. Adapun dalam penulisan makalah ini, materi yang
akan dibahas adalah “Keselamatan Kerja di Dalam Laboratorium” sebagai alat pembelajaran bagi para pembaca
agar lebih mendalami prosedur keselamatan kerja di dalam laboratorium.
Tidak lupa kami mengucapkan terima
kasih kepada semua pihak yang telah membantu penyusunan makalah ini, khususnya
kepada dosen pembimbing dan keluarga serta teman-teman yang kami sayangi.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa di
dalam penulisan makalah ini banyak terdapat kekurangan. Oleh karena itu, kami
mengharapkan adanya kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan penulisan
makalah ini.
Akhir kata, semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi kita semua dan dapat menambah wawasan kita dalam mempelajari
pengertian pemerintahan, tanggung jawab dan wewenang pemerintah serta dapat
digunakan sebagaimana mestinya dan bermanfaat untuk kita semua.
Medan,
14 Oktober 2016
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C.Tujuan
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C.Tujuan
BAB II PEMBAHASAN
A. Defenisi Hadits Shahih
B. Syarat-syarat Hadits Shahih
C. Pembagian Hadits Shaih
B. Syarat-syarat Hadits Shahih
C. Pembagian Hadits Shaih
D. Hukum dan Ke-hujjah-an Hadits Shahih
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
A. Kesimpulan
B. Saran
C. Daftar Pustaka
BAB 1
PENDAHULUAN
- Latar Belakang
Hadits atau Sunnah adalah sumber
ajaran Islam yang kedua setelah Al-Qur’an. Dimana keduanya merupakan
pedoman dan pengontrol segala tingkah laku dan perbuatan manusia. Untuk
Alqur’an semua periwayatan ayat-ayatnya mempunyai kedudukan sebagai suatu yang
mutlak kebenaran beritanya sedangkan hadis Nabi belum dapat
dipertanggungjawabkan periwayatannya berasal dari Nabi atau tidak.
Sebagaimna kita ketahui bahwa tidak
semua hadis Nabi SAW. dapat dijadilan sebagai sandaran. Hal ini bisa terjadi
karena tidak semua hadits dapat diterima (maqbul) seperti yang telah
diungkapkan oleh para ulama bahwa hadits dapat diterima karena ia shahih dan
adakalanya ditolak karena ia dha’if. Namun demikian hadis memiliki
peranan dalam menjelaskan setiap ayat-ayat Alqur’an yang turun baik yang
bersifat Muhkamat maupun Mutasabihat. Sehingga hadis ini sangat
perlu untuk dijadikan sebagai sandaran umat Islam dalam menguasai inti-inti
ajaran Islam.
Dari kenyataan inilah, saya ingin
mencoba melalui makalah ini untuk mencermati permasalahan hadits shahih serta
yang berkaitan dengan syarat-syarat hadits shahih dan pembagiannya.
- Rumusan Masalah
1.
Apakah
yang dimaksud dengan Hadist Shahih ?
2.
Bagaimana
syarat-syarat ketentuan Hadist Shahih ?
3.
Bagaimana
pembagian di dalam Hadist Shahih ?
4.
Apakah
hukum dan Ke-hujjah-an Hadist Shahih
?
- Tujuan
1.
Mengetahui
lebih dalam definisi Hadits Shahih.
2.
Mengetahui
tentang syarat-syarat Hadits Shaih.
3.
Mengetahui
tentang bagaimana pembagian Hadits Shahih.
4.
Mengetahui
hukum dan ke-hujjah-an Hadits Shahih.
BAB 2
PEMBAHASAN
- Definisi Hadits Shahih
Kata Shahih ( الصحيخ ) dalam bahasa diartikan orang sehat
antonim dari kata as-saqim ( السقيم )
yang artinya orang yang sakit jadi yang dimaksud hadits shahih adalah hadits
yang sehat dan benar tidak terdapat penyakit dan cacat.
هُوَ الْمُسْنَدُ، الْمُتَّصِلُ إِسْنَادُهُ، بِنَقْلِ
الْعَدْلِ الضَّابِطِ، عَنِ الْعَدْلِ الضَّابِطِ إِلَى مُنْتَهَاهُ، مِنْ غَيْرِ
شُذُوْذٍ وَلاَ عِلَّةٍ
“Hadits shahih adalah hadits yang musnad,
bersambung sanadnya, dengan penukilan seorang yang adil dan dhabith dari orang
yang adil dan dhabith sampai akhir sanad, tanpa ada keganjilan dan cacat.”
Untuk memudahkan memahami definisi tersebut, dapat
dikatakan, bahwa hadits shahih adalah hadits yang mengandung syarat-syarat
berikut;
- Haditsnya musnad
- Sanadnya bersambung
- Para rawi (periwayat)nya adil dan dhabith
- Tidak ada syadz (keganjilan)
- Tidak ada illat (cacat)
Ibnu al-Shalah mendefinisikan Hadis
Shahih yaitu Hadis Musnad yang bersambung sanadnya dengan periwayatan perawi
yang adil dan dhabit, (yang diterimanya) dari perawi (yang lain) yang adil dan
dhabith hingga ke akhir (sanad)-nya, serta Hadis tersebut tidak syadz dan tidak
ber’illat.[1]
Imam
As-Suyuti mendifinisikan hadits shahih dengan “hadits yang bersambung sanadnya,
diriwayatkan oleh perawi yang adil dan dhabit, tidak syadz dan tidak ber’illat”.
Defisi hadits shahih secara konkrit baru muncul setelah Imam Syafi’i memberikan
penjelasan tentang riwayat yang dapat dijadikan hujah, yaitu:
Pertama, apabila diriwayatkan oleh
para perawi yang dapat dipercaya pengamalan agamanya, dikenal sebagai orang
yang jujur memahami hadits yang diriwayatkan dengan baik, mengetahui perubahan
arti hadits bila terjadi perubahan lafazhnya; mampu meriwayatkan hadits secara
lafazh, terpelihara hafalannya bila meriwayatkan hadits secara lafazh, bunyi
hadits yang Dia riwayatkan sama dengan hadits yang diriwayatkan orang lain dan
terlepas dari tadlis (penyembuyian cacat). Kedua, rangkaian riwayatnya
bersambung sampai kepada Nabi Muhammad SAW. Atau dapat juga tidak sampai kepada
Nabi Muhammad SAW.
Imam Bukhori dan Imam Muslim membuat
kriteria hadits shahih sebagai berikut:
a)
Rangkaian perawi dalam sanad itu harus
bersambung mulai dari perawi pertama sampai perawi terakhir.
b)
Para perowinya harus terdiri dari
orang-orang yang dikenal tsiqat, dalam arti adil dan dhobith,
c)
Haditsnya terhindar dari ‘illat
(cacat) dan syadz (janggal), dan
d) Para perawi
yang terdekat dalam sanad harus sejaman.
Shubhi Shalih juga memberikan rambu-rambu yang harus
diperhatikan dalam melihat keshahihan sebuah hadis, yaitu:
a)
Hadis tersebut shahih musnad, yakni
sanadnya bersambung sampai yang teratas.
b)
Hadis shahih bukanlah hadis yang
syaz yaitu rawi yang meriwayatkan memang terpercaya , akan tetapi ia menyalahi
rawi-rawi yang lain yang lebih tinggi.
c)
Hadis shahih bukan hadis yang
terkena ‘illat. Illat ialah: sifat tersembunyi yang mengakibatkan hadis
tersebut cacat dalam penerimaannya, kendati secara zahirnya terhindar dari
illat.
d) Seluruh
tokoh sanad hadis shahih itu adil dan cermat.
- Syarat-Syarat Hadits Shahih.
Dari
definisi tersebut dapat disimpulkan,
bahwa suatu hadis dapat dinyatakan Shahih apabila telah memenuhi kriteria
tertentu, yaitu: Syarat pada Sanad dan Syarat pada Matan .
·
Syarat Pada Sanad
Kriteria yang telah dirumuskan oleh
para Ulama tentang syarat pada sanad nya adalah sebagai berikut :[2]
1.
Sanad Hadis tersebut harus bersambung
Maksudnya adalah bahwa setiap perawi
menerima hadis secara langsung dari perawi yang berbeda di atasnya, dari awal
sanad sampai ke akhir sanad, dan seterusnya sampai kepada Nabi Muhammad SAW
sebagai sumber hadis tersebut.
Untuk membuktikan apakah antara
sanad-sanad itu bersambung atau tidak, di antaranya dilihat dari usianya
masing-masing dan tempat tinggal mereka. Apakah usia keduanya memungkinkan
bertemu atau tidak. Selain itu, cara mereka menerima atau menyampaikannya ialah
denan cara sama’(mendengar guru memberikan hadis dari perawi itu) atau
munawalah (seorang guru memberikan hadis yang dicatatnya kepada muridnya). Atau
dengan cara lain.[3]
2.
Seluruh periwayat dalam sanad bersifat
adil
Artinya perawi hadis tersebut
memiliki ketelitian dalam menerima hadis,memahami apa yang ia dengar,serta
mampu mengingat dan menghafalkan sejak ia menerima hadis tersebut sampai pada
masa ketika ia meriwayatkannya.
Secara umum telah mengemukakan cara
penetapan keadilan periwayat hadis, yakni , berdasarkan :
a)
Popularitas keutamaan periwayat
dikalangan utama ; periwayat yang terkenal keutamaan pribadinya, misalnya
: Malik bin Anas dan Sufyan al-Tsaury tidak lagi diragukan keadilannya.
b)
Penilaian para kritikus periwayat
hadis; penilaian ini berisi pengungkapan kelebiha dan kekurangan yang ada pada
diri periwayat hadis.
c)
Penerapan kaedah al-jahr wa
al-ta’dil,cara ini ditempuh , bila para kritikus periwayat hadis tidak sepakat
tentang kualitas pribadi periwayat tertentu. Jadi penetapan keadilan periwayat
diperlukan kesaksian dari ulama,dalam hal ini ulama ahli kritik periwayat.
3.
Seluruh periwayat oleh sanad
bersifat Dhabit
Dhabit menurut bahasa ialah “yang
kokoh,yang kuat,yang tepat,yang hapal dengan sempurna. Sedangkan menurut
istilah ialah “orang yang kuat hafalannya tentang apa yang telah didengarnya
dan mampu menyampaikan hafalannya itu kapan saja ia kehendaki”. Atau Dhabit adalah bahwa rawi hadits yang bersangkutan dapat
menguasai hadits yang diterimanya dengan baik, baik dengan hapalannya yang kuat
ataupun dengan kitabnya, kemudian ia mampu mengungkapkannya kembali ketika
meriwayatkannya kembali.
Dari definisi di atas bisa dipahami
bahwa seorang bisa disebut dhabit, apabila :
a.
Periwayat itu memahami dengan baik
riwayat yang telah didapatnya (diterimanya).
b.
Periwayat itu hafal dengan baik
riwayat yang telah didengarnya.
c.
Periwayat itu mampu menyampaikan
riwayat yang telah dihafal itu dengan baik :
§ Kapan saja
ia menghendakinya
§ Sampai saat
dia menyampaikan riwayat itu kepada orang lain.
Adapun cara penetapan kedhabitan
seseorang periwayat , dapat dinyatakan sebagai berikut :
a.
Kedhabitan periwayat dapat diketahui
berdasarkan kesaksian ulama.
b.
Kedhabitan periwayat dapat diketahui
juga berdasarkan kesesuaian riwayatnya dengan riwayat yang disampaikan oleh
periwayat lain yang telah dikenal kedhabitan. Tingkat kesesuaiannya mungkin
hanya sampai ketingkat makna atau mungkin ketingkatan harfiah.
c.
Apabila seorang periwayat sesekali
mengalami kekeliruan, maka dia masih dinyatakan sebagai periwayat yang dhabit.
Tetapi jika kesalahan itu sering terjadi, maka periwayat yang bersangkutan
tidak lagi disebut sebagai periwayat yang dhabit.
Dari sudut kuatnya ingatan perawi, para ulama membagi
kedhabitan ini menjadi dua :
- Dhabit Shadr(dhabit Fuad)
Artinya terpelihara hadis yang
diterimanya dalam hapfalan, sejak ia menerima hadis tersebut sampai
meriwayatkannya kepada orang lain, kapan saja periwayatan itu diperlukan.
- Dhabit Kitab
Artinya terpeliharanya periwayatan
itu melalui tulisan-tulisan yang dimilikinya, ia memahami dengan baik tulisan
hadis yang tertulis dalam kitab yang ada padanya, dijaganya dengan baik dan
meriwayatkannya kepada orang lain dengan
benar.
4.
Sanad hadis itu terhindar dari syadz
(syuzuz)
dalam arti bertentangan atau
menyalesihi orang yang terpercaya dan lainnya. Syadz adalah suatu kondisi
dimana seorang rawi berbeda dengan rawi yang lain yang lebih kuat posisinya.
Kondisi ini dianggap janggal karena bila ia berada dengan rawi yang lain yang lebih
kuat posisinya, baik dari segi kekuatan daya ingatnya atau hapalannya atau pun
jumlah mereka lebih banyak, maka para rawi yang lain itu harus diunggulkan, dan
ia sendiri disebut syadz atau janggal. Dan karena kejanggalannya maka timbulah
penilaian negatif terhadap periwayatan hadits yang bersangkutan.[4]
Sebenarnya kejanggalan suatu hadits
itu akan hilang dengan terpenuhi syarat-syarat sebelumnya, karena para
muhaditsin menganggap bahwa ke-dhabit-an telah mencakup potensi kemampuan rawi
yang berkaitan dengan jumlah hadits yang dikuasainya. Boleh jadi terdapat
kekurangpastian dalam salah satu haditsnya, tanpa harus kehilangan predikat
ke-dhabit-annya sehubungan dengan hadits-hadits yang lain. Kekurangpastian
tersebut hanya mengurangi keshahihan hadits yang dicurigai saja.
5.
Sanad hadits itu terhindar dari ‘illat
(cacat)
Kata ‘illat yang
terbentuk jama’nya ‘illa atau al-‘illai, menurut bahasa berarti cacat,
penyakit, keburukan dan kesalahan baca. Dengan pengerian ini, maka yang disebur
hadis ber’illat adalah hadis-hadis yang ada cacat atau penyakitnya.
Maksudnya
ialah bahwa hadits yang bersangkutan terbebas dari cacat haditsnya. Yakni
hadits itu terbebas dari sifat-sifat samar yang membuatnya, meskipun tampak
bahwa hadits itu tidak menunjukan adanya cacat-cacat tersebut. Jadi hadits yang
mengandung cacat itu bukan hadits yang shahih.
·
Syarat Pada Matan
Kemudian perlu kita
ketahui, bahwa hadis itu tidak dipandang shahih dengan karena sanadnya telah
shahih, jika matannya nyatanya berlawanan dengan keterangan-keterangan yang
lebih kuat dari padanya. Tidak cukup untuk menshahihkan sesuatu hadis, melihat
dari sanadnya saja.
Menurut Muhadditsin tampak beragam.
Salah satu versi tentang kriteria keshahihan matan hadits ialah bahwa suatu
matan hadits dapat dinyatakan maqbul (diterima) sebagai matan hadits yang
shahih apabila memenuhi unsur-unsur sebagai berikut :
§ tidak
bertentangan dengan akal sehat
§ tidak
bertentangan dengan hukum Al-Qur’an yang telah muhkam (ketentuan hokum yang
telah tetap)
§ tidak bertentangan
dengan hadits mutawatir
§ tidak
bertentangan dengan amalan yang telah menjadi kesepakatan ulama masa lalu
(Ulama Salaf)
§ tidak
bertentangan dengan dalil yang telah pasti
§ tidak
bertentangan dengan hadits ahad yang kualitas keshahihannya lebih kuat.
- Pembagian Hadits Shahih.
Para ulama membagi hadis Shahih
kepada dua, yaitu Shahih Lidzatihi, dan Shahih Lighairihi.
- Shahih Lidzatihi
Shahih
li Dzatihi, yaitu hadis yang mencakup semua syarat-syarat atau sifat-sifat
hadis maqbul secara sempurna, dinamakan “shahih li Dzatihi” karena telah
memenuhi semua syarat shahih,dan tidak butuh dengan riwayat yang lain
untuk sampai pada puncak keshahihan, keshahihannya telah tercapai dengan
sendirinya.
Hadits yang
diriwayatkan oleh Al Bukhari di dalam kitab Shahih-nya jilid 4
halaman18, Kitab Al Jihad wa As Siyar, Bab Ma Ya’udzu min Al Jubni;
حَدَّثَنَا
مُسَدَّدٌ، حَدَّثَنَا مُعْتَمِرٌ، قَالَ: سَمِعْتُ أَبِي قَالَ:سَمِعْتُ أَنَسَ
بْنَ مَالِكٍ رَضِي اللَّه عَنْهم، قَالَ: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّه
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْعَجْزِ،
وَالْكَسَلِ، وَالْجُبْنِ، وَالْهَرَمِ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ،
وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ
Telah
menceritakan kepada kami Musaddad, telah menceritakan kepada kami Mu’tamir, ia
berkata; Aku mendengar ayahku berkata; Aku mendengar Anas bin Malik
radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berdo’a; “Ya
Allah, aku memohon kepada-Mu perlindungan dari kelemahan, kemalasan, sifat
pengecut dan dari kepikunan, dan aku memohon kepada-Mu perlindungan dari fitnah
(ujian) di masa hidup dan mati, dan memohon kepada-Mu perlindungan dari adzab
di neraka.”
Hadits tersebut telah memenuhi persyaratan sebagai
hadits shahih, karena;
- Ada sanadnya hingga kepada Rasulullah saw.
- Ada persambungan sanad dari awal sanad hingga akhirnya. Anas bin Malik adalah seorang shahabat, telah mendengarkan hadits dari nabi saw. Sulaiman bin Tharkhan (ayah Mu’tamir), telah menya-takan menerima hadits dengan cara mendengar dari Anas. Mu’tamir, menyatakan menerima hadits dengan mendengar dari ayahnya. Demikian juga guru Al Bukhari yang bernama Musaddad, ia menyatakan telah mende-ngar dari Mu’tamir, dan Bukhari -rahimahullah- juga menyatakan telah mendengar hadits ini dari gurunya.
- Terpenuhi keadilan dan kedhabitan dalam para periwayat di dalam sanad, mulai dari shahabat, yaitu Anas bin Malik ra hingga kepada orang yang mengeluarkan hadits, yatu Imam Bukhari
- Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau termasuk salah seorang shahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan semua shahabat dinilai adil.
- Sulaiman bin Tharkhan (ayah Mu’tamir), dia siqah abid (terpercaya lagi ahli ibadah).
- Mu’tamir, dia siqah
- Musaddad bin Masruhad, dia siqah hafid.
- Al Bukhari –penulis kitab as-Shahih-, namanya adalah Muhammad bin Isma’il Al Bukhari, dia dinilai sebagai jabal Al hifdzi (gunungnya hafalan), dan amirul mu’minin fil hadits.
- Hadits ini tidak syadz (bertentangan dengan riwayat lain yang lebih kuat)
- Hadits ini tidak ada illat-nya.
- Shahih Lighairihi
Merupakan
hadits shahih yang tidak memenuhi syarat-syarat secara maksimal. Misalnya,
rawinya adil yang tidak sempurna dhabitnya. Bila jenis ini dikukuhkan oleh
jalur lain, hadits tersebut menjadi hadits lighairih. Dengan demikian shahih lighairih adalah hadits yang
keshahihannya disebabkan oleh faktor lain karena tidak memenuhi syarat secara
maksimal. Misalnya hadits hasan yang diriwayatkan melalui beberapa jalur, bisa
naik derajatnya dari hadits hasan menjadi derajat hadits shahih. Kedudukan hadist shaih lighairihi lebih
tinggi di atas hadits Hasan Lidzatihi namun di bawah hadits Shahih
Lidzatihi.
Contoh Hadits lighairihi adalah :
Ini
didasari riwayat hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam, Beliau bersabda:
لَوْلاَ
أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي لأمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عند كلِّ صلاة
“Seandainya
tidak memberatkan umatku, sungguh aku akan perintahkan mereka untuk bersiwak
setiap akan shalat.” (HR. Bukhari, Muslim dan Tirmidzi)
Hadis
tersebut dinilai oleh muhaddisin sebagai hadis shahih li ghairihi
sebagaimana dijelaskan diatas. Pada sanad hadis tersebut, terdapat Muhammad bin
‘Amr yang dikenal orang jujur, akan tetapi kedhabitannya kurang sempurna,
sehingga hadis riwayatnya hanya sampai ke tingkat hasan. Namun keshahihan hadis
tersebut didukung oleh adanya hadis lain, yang lebih tinggi derajatnya
sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari A’raj dari Abu
Hurairah
Dari
sini dapat kita ketahui bahwa martabat hadis shahih ini tergantung kepada ke-dhabit-an
dan ke-adil-an para perawinya. Semakin dhabit dan semakin adil si
perawi, makin tinggi pula tingkatan kualitas hadis yang diriwayatkannya.yang
diistilah oleh para muhaddisin sebagai ashahhul asanid.
- Hukum dan Ke-hujjah-an Hadits Shahih.
Para Ulama Hadis,
demikian juga para Ulama Ushul Fiqih dan Fuqhha, sepakat menyatakan bahwa hukum
Hadits Shahih adalah wajib untuk menerima dan mengamalkannya. Kesepakatan ini terjadi dalam soal-soal yang
berkaitan dengan penetapan halal atau haramnya sesuatu, tidak dalam hal-hal
yang berhubungan dengan aqidah. Sebagian
besar ulama menetapkan dengan dalil-dalil qat’i, yaitu al-Quran dan hadis
mutawatir. oleh karena itu, hadis ahad tidak dapat dijadikan hujjah untuk
menetapkan persoalan-persoalan yang berhubungan dengan aqidah.
Mengenai
kehujjahan hadis shahih, dikalangan ulama tidak ada perbedaan tentang kekuatan
hukumnya, terutama dalam menentukan halal dan haram (status hukum) sesuatu. Hal
ini didasarkan pada firman Allah, (Q.S al-Hasyr : 59) :
وَمَا آتَاكُمُ
الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ
إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Apa yang diberikan Rasul kepadamu,
maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah; dan
bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya." –
(QS.Al-Hasyr,59:7)
Hadis Shahih adalah Hujjah dan dalil dalam
penerapan hukum Syara’, oleh karenanya tidak ada alasan bagi setiap Muslim
untuk meninggalkannya.[5]
BAB 3
PENUTUP
A.
Kesimpulan.
Hadits
Shahih adalah hadits
yang berhubungan (bersambung) sanadnya yang diriwayatkan oleh perawi yang adil,
dhabit, yang diterimanya dari perawi yang sama (kualitasnya) dengannya sampai
kepada akhir sanad, tidak syadz dan tidak pula ber ‘illat. Hadis Shahih adalah
Hujjah dan dalil dalam penerapan hukum Syara’, oleh karenanya tidak ada alasan bagi setiap Muslim untuk meninggalkannya. Dapat kita ketahui bahwa martabat hadis shahih ini
tergantung kepada ke-dhabit-an dan ke-adil-an para perawinya.
Semakin dhabit dan semakin adil si perawi, makin tinggi pula tingkatan kualitas
hadis yang diriwayatkannya.yang diistilah oleh para muhaddisin sebagai ashahhul asanid. Persyaratan Hadits
Shahih, yaitu: Diriwayatkan oleh para perawi yang Adil, Ke-dhabit-an
pe-rawi-nya, antara Sanad- sanadnya harus Muttashil, Tidak ada cacat atau
illat, Tidak janggal atau Syadzdz.Hadits Shahih terbagi dua yaitu: Shahih
Lidzatihi dan Shahih Lighairihi. Shahih lidztihi adalah Haidits
yang Shahih dengan sendinya, karena telah memenuhi, persyaratan hadits Shahih.
Shahih ligharihi adalah Hadits Hasan lidzatihi ketika ada periwayatan melalui
jalan lain yang sama atau yang lebih kuat dari padanya.
B.
Saran.
Setelah dipaparkan dengan cukup jelas tentang pokok bahasan yang
berkaitan dengan hadis Shahih dan bagian-bagiannya, dalam hal ini saya
menyarankan pada kita semua agar kita selaku umat muslim harus menerapkan
apa yang sudah diriwayatkan Nabi SAW. Hadits Shahih adalah hujjah sehingga kita
selaku umat muslim tidak bolek mengabaikan dan meninggalkannya.
Demikianlah makalah yang dapat saya
buat, sebagai manusia biasa saya menyadari dalam pembuatan makalah ini masih
terdapat banyak kesalahan dan kekurangan. Untuk itu kritik dan saran yang
bersifat konstruktif sangat saya harapkan demi kesempurnaan makalah ini dan
berikutnya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar